Pengabdian Masyarakat: Tong, Asap, dan Cerita di Baliknya
Desa Tambak Sumur, Sidoarjo – Langit Tambak Sumur pagi itu tak sepenuhnya biru. Di kejauhan, kepulan asap putih menggantung malas, seolah enggan bubar. Aku menatapnya dari jalan tempatku bergerak dengan motor beatku yang perlahan lebih dalam memasuki desa. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di wilayah Tambak Sumur yang begitu tenang, namun menyimpan persoalan lingkungan yang rumit terkait pembakaran sampah.
Aku hanya membawa tas ransel dengan catatan kecil dan rasa penasaran. Sesekali aku melihat sisa bakaran di tepi jalan, abu dan plastik mencair bercampur tanah. Anak-anak kecil berlarian tanpa alas kaki, dan orang-orang melewatinya dengan terbiasa.
Kami melangkah ke rumah demi rumah dan mendengar cerita yang hampir sama dari warga perihal tidak adanya TPS (Tempat Pembuangan Sampah) di desa tersebut, minimnya masyarakat yang ikut pengangkutan sampah dari desa lain karena keterbatasan ekonomi dan merasa tak ada pilihan lain.
Aneh rasanya, aku baru pertama kali mendengar ada desa yang tidak mempunyai TPS (Tempat Pembuangan Sampah) pribadi. Namun, karena keanehan ini aku belajar akan ketidaksamaan di setiap daerah.
Tak perlu banyak waktu untuk memahami karena ini bukan sekedar masalah kebiasaan, tapi soal kebutuhan. "Kalau nggak dibakar, nanti menumpuk." kata seorang ibu saat kami tanya siang itu.
Dari rumah ke rumah, aku dan teman-teman mulai mencatat, mengamati, dan bertanya. Warga begitu terbuka, namun nyaris semua mengulang narasi yang sama. Sampah yang tidak dikelola, dibakar. Plastik, daun, kardus, sisa makanan semua disatukan lalu dibakar di lubang kecil atau tumpukan terbuka. Kadang api dijaga, kadang dibiarkan. Asapnya? Itu urusan nanti. Meski begitu, kami mulai sadar bahwa mendengar adalah jembatan menuju pembaruan.
Setelah berminggu-minggu berada di lapangan, akhirnya kami memperkenalkan sebuah program yang telah dirancang sebelumnya yaitu Tong Sampah Minim Asap. Tong sederhana dengan modifikasi sirkulasi udara yang membuat proses pembakaran lebih efisien dan mengurangi kepulan asap drastis.
Tiga minggu berturut-turut, kami kembali ke Tambak Sumur untuk kegiatan MONEV (Monitoring dan Evaluasi) dan kegiatan pendamping. Hari itu panas dan keringat mengalir di tubuh kami, tapi semangat kami tak surut. Kami datang ke rumah-rumah penerima tong. Beberapa tong sudah dipakai, walau belum semua optimal.
Kami mencatat semua informasi yang kami dapatkan saat MONEV (Monitoring dan Evaluasi), lalu bertanya apa yang masih menjadi kendala. Beberapa bilang tidak ada kendala, ada juga yang merasa terbantu dengan adanya tong sampah minim asap ini. Namun, ada juga beberapa kendala yang sedikit rumit menurut kami terkait tong sampah minim asap ini tetapi dari kami dan tim dosen akhirnya mendapatkan solusinya setelah berdiskusi. Dari sini, kami paham bahwa perubahan butuh waktu dan penguatan berkelanjutan.
Tambak Sumur telah memberi kami pelajaran paling jujur, bahwa sampah bukan sekadar benda buangan dan asap bukan sekadar polusi. Mereka adalah cerminan dari pilihan sehari-hari, yang jika dibimbing bisa membawa masa depan yang lebih bersih dan sehat.

Komentar
Posting Komentar